Senin, 12 Maret 2012

pemilu

Pemilu pertama kali diselenggarakan 29 September 1955. Inilah masa liberal, dan pemilu berlangsung dengan sangat aman, bebas, dan rahasia. Tapi ekornya? Ia, toh berakhir dengan tragis. Presiden Soekarno, membubarkan Dewan Konstituante hasil pemilu itu, empat tahun kemudian, setelah berlarut-larut berselisih perkara ideologi — Islam atau Pancasila.
Dalam buku pelajaran sejarah sekolah, keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 disebut sebagai langkah Presiden Soekarno untuk menyelamatkan bangsa dan negara. Dekrit itu meresmikan berlakunya kembali UUD 1945 dan mencopot Konstitusi Sementara 1950. UUD 1945 disebut lebih baik ”karena sesuai dengan Pancasila.” Tapi peristiwa seputar Dekrit 1959 itu sebenarnya lebih kompleks dan penuh intrik politik.
Dekrit itu sendiri berhulu dari hasil Pemilihan Umum 1955. Pemilu itu pada satu sisi dianggap sangat demokratis, tapi di sisi lain memunculkan ketidakstabilan: berupa pertentangan politik di konstituante (parlemen).
Menurut UUD Sementara yang diterbitkan lima tahun sebelumnya, konstituantelah yang akan menyusun konstitusi baru (UUD yang tetap). Namun, karena perbedaan politik dan ideologi di antara anggotanya, khususnya antara kelompok Islam dan komunis, konstituante tidak cukup cepat bisa menyelesaikan tugasnya.
Perlu diketahui bahwa UUD 1945 yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 tidak berlaku lagi sebagai UUD nasional sejak 27 Desember 1949, yaitu ketika negara kesatuan menjadi negara serikat yang berlandaskan UUD 1949. Untuk mewujudkan konsepsinya mengenai demokrasi terpimpin, Presiden Sukarno mengusulkan kepada Konstituante agar tidak usah menyusun UUD baru, tetapi memberlakukan saja kembali UUD 1945.
Di tengah perdebatan yang berlarut-larut itu, suhu politik kian panas. Hasil pemilu menonjolkan pemisahan ideologis antara Jawa, yang didominasi Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan luar Jawa (khususnya Sumatra), yang didominasi Masyumi. Pemisahan itu memuncak dengan mundurnya Wakil Presiden Mohammad Hatta pada Desember 1956. Secara simbolis, Hatta adalah wakil luar Jawa dalam kepemimpinan puncak nasional. Hal ini memicu pemberontakan di berbagai daerah.
Pemilu 1955 yang liberal juga ditandai dengan terlalu banyaknya partai, sehingga tak ada partai yang bisa memperoleh suara mayoritas mutlak. Dalam sistem parlementer yang diamanatkan oleh UUDS, kabinet akhirnya harus dibentuk oleh koalisi beberapa partai. Dan itulah yang membuat pemerintahan menjadi rapuh. Ketika koalisi pecah, runtuh pula kabinet.
November 1956, Sidang Konstituante-majelis yang membuat konstitusi baru pengganti UUD 1945-di Bandung. Ada tiga usul dasar negara: Pancasila, Islam, dan Sosial Ekonomi. Kubu Nasionalis yang beranggota 273 anggota memilih Pancasila. Kelompok Islam beranggota 230 orang. 11 November 1957 Rapat Pleno ke-59 Majelis Konstituante membentuk Panitia Perumus Dasar Negara yang beranggotakan 18 orang yang mewakili semua kelompok di dalam Konstituante. 21 November 1957 Soewirjo, Ketua PNI di Konstituante, mengusulkan agar semua pihak mencari jalan untuk kompromi.
Pemberontakan daerah dan kisruh politik membuat militer kian tak sabar dan kian meyakini bahwa sistem parlementer tidak cocok. Pada Mei 1958, hasil pertemuan KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution dengan para petinggi militer lain mendesak kembalinya penerapan UUD 1945 yang menganut sistem presidensial. Nasution kala itu aktif berkampanye agar bangsa Indonesia kembali ke nilai-nilai proklamasi 1945 yang terdapat dalam UUD 1945. Bahkan, Nasution sendiri menemui Ketua NU Idham Chalid untuk minta dukungan.
Dalam pidatonya berjudul “Res Publica! Sekali Lagi Res Publica!”, di Sidang Pleno Konstituante, 22 April 1959, presiden mengatakan:
“Berkenaan dengan anjuran kembali pada UUD 1945 , saya sampaikan kepada Konstituante dengan resmi naskah UUD 1945 yang terdiri dari pembukaan, batang tubuh yang berisikan 37 pasal, empat aturan peralihan, dan dua aturan tambahan.” (notabene, tanpa “penjelasan”).
Usul untuk memasukkan semangat Piagam Jakarta ke dalam Piagam Bandung gagal karena kelompok Islam menolak jika pencantuman kewajiban melaksanakan syariat Islam hanya merupakan rumusan formal. Kelompok Islam menghendaki rumusan yang operasional.
Anjuran Presiden Sukarno itu ditolak oleh Konstituante, yang dalam tiga kali voting ternyata tidak mencapai kuorum. Tetapi Presiden Sukarno tidak putus asa. Dengan alasan terjadi keadaan darurat yang dirumuskan sebagai “keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur”.
Pada saat hampir bersamaan, konstituante yang beranggotakan 514 orang, mewakili semua golongan (termasuk peranakan Cina dan Arab), sebenarnya sudah banyak menemukan titik temu dalam penyusunan konstitusi baru. Pada 18 Februari 1959, Ketua Majelis Konstituante Wilopo menyatakan bahwa majelis penyusun UUD akan menyelesaikan tugas tepat pada waktunya.
21 Mei 1959, Perdana Menteri Djuanda menegaskan pengakuan pemerintah terhadap Piagam Jakarta tidak berarti secara operasional syariat Islam diberlakukan di negeri ini. Piagam Jakarta dianggap cukup sebagai hal yang menjiwai UUD 45. 26 Mei 1959 Fraksi-fraksi Islam tidak puas dengan jawaban pemerintah. Mereka kemudian mengajukan usul agar Piagam Jakarta dijadikan Mukadimah UUD. Usul ini disampaikan oleh K.H. Maskur dari Nahdlatul Ulama. Namun usul ini pun ditolak. 30 Mei dan 1 Juni 1959 Berlangsung pemungutan suara sebanyak tiga kali. Voting dilakukan untuk menentukan perubahan UUD 1945 dengan revisi atau tidak. Pemungutan suara itu tidak mencapai kuorum, yaitu dihadiri oleh dua pertiga anggota. Maka Konstituante mengalami kebuntuan.
Tapi palu godam itu datang. Sepulang dari luar negeri, pada 29 Juni 1959, Sukarno disambut demonstrasi besar yang menghendaki kembali ke UUD 1945. Lewat Nasution, militer sangat antusias mendukung demonstrasi itu dengan memerintahkan agar rakyat menaikkan bendera selama sepuluh hari.
Berdiri di atas podium di teras Istana Merdeka, Minggu, 5 Juli 1959, mata Presiden Sukarno tampak lelah. Tapi, pada sore hari itu, suaranya tetap lantang:
“Dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan menyelamatkan Negara Proklamasi!”
Sebagian besar rakyat yang mendengar pembacaan dekrit presiden itu menyambutnya dengan gemuruh pekik dan tepuk tangan. Padahal, bagi para politisi, keputusan Sukarno bagaikan lonceng kematian. Konstituante yang tengah menyiapkan undang-undang dasar baru dibubarkan dan UUD 1945 diberlakukan lagi.
Lahirlah Dekrit 1959.  Isi dari Dekrit tersebut antara lain :
  1. Pembubaran Konstituante
  2. Pemberlakuan kembali UUD ’45 dan tidak berlakunya UUDS 1950
  3. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
Dengan dekritnya, Presiden membubarkan konstituante-parlemen sah hasil pemilu-dan membentuk kabinet baru, Kabinet Karya, dengan perdana menteri Juanda. Selain itu, Sukarno membentuk Dewan Nasional, yang diketuai Presiden, tapi kepemimpinannya sehari-hari dipegang Roeslan Abdulgani. Meskipun dewan ini tidak memiliki landasan hukum, peran politiknya sangat penting, yaitu sebagai “penasihat” pemerintah. Akhirnya, dewan ini malah berfungsi sebagai DPR bayangan.
Sistem pemerintahan baru yang ganjil itu klop dengan konsepsi Sukarno tentang Demokrasi Terpimpin, yang sudah dipromosikannya sejak 1957 tapi ditolak oleh Muhammad Natsir (Masyumi), Sutan Sjahrir (Partai Sosialis Indonesia), dan I.J. Kasimo (Partai Katolik). Menurut para pengkritiknya, Demokrasi Terpimpin adalah sistem pemerintahan otoriter. Kritik yang sama dilontarkan oleh Mohammad Hatta. Tapi Sukarno tidak menyerah. Dengan dukungan partai besar seperti PKI, PNI, dan NU, Sukarno akhirnya bisa mendesakkan gagasannya menjadi realitas politik de facto, sampai akhirnya dia sendiri harus berhadapan dengan militer pada 1965, dan terjungkal.
Meskipun menurut ketentuan UUD 1945, sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terbentuk, kekuasaannya dijalankan oleh presiden, secara inkonstitusional presiden membentuk MPR Sementara (MPRS) yang anggota-anggotanya diangkat oleh presiden. Dalam pidatonya pada pembukaan Sidang MPRS di Bandung, 10 November 1960, Presiden Sukarno mengatakan:
“Saudara-saudara dikumpulkan pada ini hari di Kota Bandung yang bersejarah ini, di gedung yang bersejarah ini, pada hari yang selalu bersejarah ini, untuk memenuhi apa yang ditentukan di dalam Pasal 3 UUD kita, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar haluan negara. Tetapi, karena saudara-saudara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang anggota daripada DPR itu belumlah anggota yang terpilih oleh rakyat, bagian pertama daripada tugas Pasal 3 ini, yaitu menetapkan UUD, tidak saya minta kepada saudara-saudara untuk ditetapkan.”
Selama Presiden Sukarno berkuasa, belum pernah terbentuk MPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat. Baru ketika Presiden Soeharto berkuasa, dilakukan pemilihan umum (pemilu), yaitu pada 3 Juli 1971.

sumber :  serbasejarah.wordpress.com/2012/02/14/mitos-konstituante/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar