BBM Naik, Rakyat Menjerit
OPINI | 27 March 2012 | 23:55 Dibaca: 141 Komentar: 1 1 dari 1 Kompasianer menilai aktual
Pemerintah kembali akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Gagasan menaikkan BBM yang rencanyanya diimplementasikan pada 1 April 2012. Ini merupakan episode kelanjutan dari program pemerintah sebelumnya yang juga pernah menerapkan kebijakan yang sama dengan menaikkan BBM pada tahun 2005 dan 2008.
Seolah, pemerintah tak belajar dari pengalaman masa lalu bahwa dampak kenaikkan BBM cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat biasa. Artinya, ada masyarakat lain yang paling merasakan derita dari dari kenaikkan BBM yakni rakyat miskin yang masih mendominasi penduduk di negeri 230 juta jiwa. Angka statistik menunjukkan paling sedikit terdapat 2,7 juta rakyat miskin di republik ini. Bahkan dengan kenaikan BBM tahun ini penduduk miskin meningkat 5 juta.
Bagi rakyat kecil, mereka tak mau tahu apapun alasan pemerintah kembali menaikkan BBM. Entah itu karena alasan harga minyak dunia melambung sehingga berdampak defisit pada APBN 2012, atau karena alasan dampak dari konstalasi politik internasional perseteruan dan serangan nuklir Amerika Serikat terhadap Iran di selat Hormus.
Lepas dari semua itu, kenaikan harga BBM yang berimbas signifikan pada kehidupan rakyat miskin yang kian tertekan. Publik begitu menyesalkan dan merasa pilu dengan adanya kebijakan yang tak pro rakyat kecil tersebut. Dengan bahasa lain, pemerintah terkesan menutup mata bahwa mayoritas masyarakat sekarang ini masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Secara logika, jangankan untuk memenuhi kebutuhan BBM yang akan melambung tinggi dari mulanya Rp 4.500 per liter kemudian nantinya menjadi Rp 6.000 per liter, untuk makan hari-hari saja mereka sulit memenuhi akibat dihimpit penyakit kemiskinan. Di tengah kondisi itu, BBM naik, dan secara hitungan matematis-teoritis tentu akan berdampak riil pada sektor lain dengan naiknya pelbagai kebutuhan dalam pasar domestic. Itu artinya, beban rakyat miskin semakin bertumpuk. Kondisi itu, bagai pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Skema tersebut tak dapat terhindarkan meskipun pemerintah menyusun logika dan argumentasi rasional yang tak jarang menipu. Penaikkan harga BBM yang bersubsidi sebesar RP 1.500 per liter atau subsidi tetap sebesar Rp 2.000 per liter pada tahun ini—memiliki efek domino melonjaknya harga pada bidang atau kebutuhan lain. Sektor-sektor vital dalam kehidupan masyarakat seperti kebutuhan pokok, barang dan jasa, kendaraan umum, transportasi, usaha kecil, angkutan barang, perikanan/nelayan, pasti turut naik seiring naiknya harga BBM. Ini sudah menjadi hukum ekonomi yang berjalan.
Menurut media nasional, belum lama ini dilansir, diperkirakan total porsi BBM bersubsidi yang dikonsumsi sektor-sektor tersebut sekitar 28, 12 persen terhadap total kuota BBM bersubsidi. Artinya, jika pada 2012 kuota BBM bersubsidi ditetapkan sebesar Rp 100 triliun, subsidi BBM yang haru dialokasikan kepada sektor tersebut sekitar Rp 28,12 triliun. Pertanyaannya, apakah pemerintah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat itu sebagai dampak dari kenaikkan BBM?
Tentu, tak mudah merealisasikan kebijakan tak populis itu. Angka Rp 28,12 triliun, bukan hal kecil diwujudkan. Penulis khawatir, jika pemerintah tak mampu mengkongkretkan kebutuhan masyarakat itu, pasti ujung-ujungnya beban dari akibat kenaikkan BBM rakyat diajak untuk menanggung konsekuensinya.
Jelas sudah beban masyarakat kecil semakin menumpuk. Didera dengan pelbagai kemiskinan, BBM naik, dan rakyat disuruh menanggung beban berlipat dari kenaikkan BBM. Dalam konteks ini, rasa keadilan masyarakat kembali dicederai. Artinya, sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tak terimplementasi dengan baik dalam konteks kasus kenaikkan BBM.
Keadilan semu yang diciptakan pemerintah dengan membuat kebijakan memberikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), yang dulu istilahnya BLT, sebesar 150 ribu per bulan per satu rumah selama sembilan bulan, juga tak akan memberikan perubahan berarti bagi kehidupan grasroot.
Alih-alih ingin menolong rakyat, kebijakan BLSM justru hanya akan merusak mentalitas masyarakat. Artinya, dengan pemberiaan bantuan melalui program pemerintah BLSM, secara langsung atau tidak langsung, pemerintah melakukan pendidikan pengemis dan mental ketergantungan kepada rakyat di tingkat bawah. Ini sungguh ironi, di tengah kehidupan masyarakat kecil yang dirundung kemiskinan akut, mereka kembali dijejaki dengan pendidikan pengemis lewat BLSM—yang membuat penduduk miskin kian tak bangkit-bangkit dari pelbagai kehidupan sulit yang mereka alami.
Miris betul. Para elit republik ini, terus saja mencekik rakyat kecil dan menari-nari di atas penderitaan orang lain. Kebijakan tak berpihak pada masyarakat grassroot (baca: kenaikkan BBM), terus dikeluarkan dengan pelbagai dalih dan argumentasi. Alasan harga minyak dunia naik, APBN defisit, adanya perubahan politik internasional yang berakibat tak stabilnya harga minyak di perdagangan internasional, kenaikkan BBM tak dapat dihindari, kebijakan Bantuan Langsung Tunia (BLT)—merupakan topeng kebohongan/kamuflase pemerintah atas ketidakmampuan menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
sumber : http://politik.kompasiana.com/2012/03/27/bbm-naik-rakyat-menjerit/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar